Sabtu, 02 November 2013

Bagaimana Saya Mulai Menulis Novel




Menulis Novel
Sebenarnya saya tidak punya cita-cita untuk menjadi seorang penulis novel, walaupun pada saat itu saya sudah menulis beberapa cerpen dan dimuat di media cetak lokal. Bagi saya, menulis cerpen empat halaman folio saja sudah merupakan perjuangan yang berat, apalagi menulis novel yang jumlah halamannya sampai puluhan bahkan ratusan.

Tidak Ada Bakat Menulis Novel


So, menulis novel sama sekali tak terlintas di benak saya, apalagi menyadari diri tidak memiliki bakat. Betapa tidak, waktu masih sekolah, angka 6 adalah nilai tertinggi yang bisa saya capai untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sangat masuk akal kalau saya katakan saya tidak berbakat sebab, nilai-nilai yang saya dapatkan untuk mata pelajaran lain berada di atas nilai rata-rata kelas, sehingga saya bisa naik kelas setiap tahun dengan ranking terbaik (numpang ngecap nih!).

By the way, tahukah Anda kenapa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia saya kurang bagus? Saya akui, saya kurang suka pelajaran Bahasa Indonesia. Apa pasal? Saya ini pemalu (yang terkadang malu-maluin juga, hehehe). Setiap ada pelajaran Bahasa Indonesia saya selalu disiksa  perasaan grogi, karena guru Bahasa Indonesia sering minta kami bercakap-cakap di depan kelas, sesuatu yang sangat tidak saya sukai sebagai orang pemalu. :-(

Berkat Banyak Membaca & Kehilangan Buku Harian


Saya bersyukur ketika kemudian menemukan kompensasi untuk kekurangan saya itu. Kecenderungan saya untuk menutup diri dan menyendiri memberi saya peluang untuk menulis buku harian dan melahap bacaan sebanyak mungkin, terutama cerpen dan novel.

Well, bagaimana ceritanya saya bisa membalikkan keadaan dari merasa tidak berbakat sampai berhasil menjadi penulis novel? Pemicunya adalah sebuah kecelakaan. Bukan kecelakaan lalu lintas atau semacamnya, melainkan kecelakaan dalam tanda kutip: saya kehilangan buku harian.
Ceritanya, waktu itu saya baru mulai bekerja pada sebuah peruhaan. Saya tinggal di rumah kos saudara yang berbaur dengan kos-kosan siswa. Suatu hari salah seorang siswa yang kos di situ nyeletuk begini: “Novelnya bagus lho, Pak!”

“Novel apa?” tanggap saya karena tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Ia menjawab pertanyaan saya dengan menyodorkan buku yang ada di tangannya, yang ternyata adalah buku harian saya.

Sejak hari itu saya merasa bisa menulis novel. Namun, karena tidak langsung action, karena terkendala oleh satu dan lain hal, beberapa tahun kemudian saya baru berhasil merampungkan sebuah novel. Itu pun dalam tulisan tangan. Harap maklum, waktu itu saya tidak punya mesin ketik apalagi komputer.

Bagi Anda yang hidup di abad teknologi informasi dengan fasilitas yang serba canggih, tentu tidak alasan untuk menunda mengambil tindakan begitu Anda merasa bisa menulis novel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar