Rabu, 13 November 2013

Bagaimana Saya Mulai Menerbitkan Buku



Menerbitkan Buku
Menerbitkan buku tidak sertamerta ada di benak saya ketika saya sudah menulis belasan cerpen. Di luar dugaan agaknya ada saja yang memperhatikan kreasi saya dalam penulisan fiksi. Salah satunya adalah penyair dan cerpenis dari Mataram, Putu Arya Tirtawirya.

Suatu saat beliau menyurati saya agar segera mengumpulkan cerpen-cerpen yang sudah dimuat di media cetak, untuk diterbitkan sebagai buku dalam bentuk kumpulan cerpen. Karena beliu sudah menerbitkan buku di sebuah penerbitan yang ada di Kupang (Nusa Indah), beliau menyarankan saya agar menerbitkan kumpulan cerpen saya pada penerbit yang sama.

Tanpa pikir panjang, saya segera mengumpulkan cerpen-cerpen saya dan melakukan segala sesuatu sesuai petunjuk yang diberikan. Dan, tak lama kemudian terbitlah buku saya yang pertama: Sketsa Untuk Sebuah Nama.

Saya sempat heran mendapati buku pertama saya berhasil eksis tanpa hambatan. Ini membuat saya sangat percaya diri sebagai penulis, sehingga cerpen-cerpen terjemahan dan cernak pun saya bukukan. Keduanya, kumpulan cerpen Karya Besar dan cernak Kambing Yang Cerdik berhasil dibukukan melalui proses yang begitu mulus.

Dan yang lebih memgembirakan kemudian adalah adanya laporan penjualan yang secara teratur dikirimkan kepada saya oleh penerbit, lengkap dengan rincian royalty yang berhak saya terima. Semua ini berlangsung ketika saya masih tinggal di Bali.

Setelah pindah ke Jakarta, cerpenis Satyagraha Hoerip menyarankan agar saya menerbitkan novelette saya yang pernah dimuat di majalah Sarinah ke Penerbit Balai Pustaka. Yang satu ini, Kabut Sepanang Jalan, pun berjalan dengan lancar dan bahkan saya mendapat uang muka 10% dari royalty yang berhak saya terima. Selanjutnya saya juga menerima laporan semester untuk royalty yang merupakan jatah saya sebagai penulis.

Senang juga rasanya mendapati diri bisa menerbitkan buku dan menerima pasif income berupa royalty secara teratur, dengan catatan buku laku dijual. Pengalaman itu membuat saya ketagihan menerbitkan buku-buku berikutnya.

Jumat, 08 November 2013

Jadi Penulis Novel Itu Harus Percaya Diri



Farida Susanty
Percaya diri adalah bekal yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh seorang penulis novel. Berhasil merampungkan sebuah novel belum berarti telah sukses sebagai penulis novel karena, masih ada aktivas lain yang perlu dilakukan yakni menerbitkan novel.

Boleh jadi sebelum diterbitkan sebagai novel, naskah yang dihasilkan ditawarkan terlebih dahulu ke koran atau majalah untuk dimuat sebagai cerita bersambung. Dalam hal ini, tak jarang penulis novel mengalami penolakan oleh redaksi. Dan yang namanya penolakan tentu saja bisa menimbulkan rasa kecewa.

Namun perlu disadari oleh penulis novel, penolakan tidak selalu berarti bahwa karya kita itu jelek. Boleh jadi penolakan terjadi hanya karena isinya tidak sesuai dengan misi koran atau majalah tersebut. Demikian pula halnya saat mau diterbitkan sebagai buku. Alasannya bisa macam-macam dan salah satu yang terpenting adalah: apakah novel itu bisa dijual/ada pasarnya?

Contoh karya novel yang terbukti bukan merupakan karya yang jelek walaupun pernah mengalami penolakan oleh pernerbit adalah Dan Hujan pun Behenti. Novel yang ditulis oleh Farida Susanty ini sempat mengalami penolakan oleh penerbit yang berbeda sebanyak tiga kali.

Namun karena penulis muda ini tidak gampang putus asa alias punya rasa percaya diri yang besar, akhirnya ketika novel tersebut berhasil diterbitkan malah bisa mengantarkan penulisnya masuk ke kategori Best Young Writer di Khatulistiwa Literary Award 2006-2007.

Saya sendiri termasuk beruntung, tidak pernah mengalami penolakan sampai menerbitkan tiga buah novel pertama. Namun novel yang saya tulis berikutnya nasibnya berbeda. Ketika saya kirimkan ke sebuah majalah wanita, saya tidak mendapatkan tanggapan dalam waktu yang cukup lama sehingga saya merasa perlu untuk menanyakannya. Ternyata pihak majalah tidak pernah menerima naskah novel yang saya kirimkan.

Selanjutnya saya mencoba mengirimkan naskah novel tersebut ke sebuah harian, berharap akan dimuat sebagai cerita bersambung. Kali ini pun nasibnya sama, tidak mendapatkan tanggapan dari redaksi. Saya jadi tak habis pikir, benarkah naskah novel tersebut tidak sampai ke meja redaksi? Jangan-jangan naskah tersebut memang tidak layak muat tetapi redaksinya tidak sampai hati menyampaikan berita buruk itu kepada saya.

Hehehe, rasa putus asa sempat juga hinggap di hati saya. Untuk membuktikan apakah dugaan saya benar atau salah, akhirnya naskah novel tersebut saya kirim ke seorang mentor penulis yang saya kenal baik. Kesannya? Ia bilang bab pertama naskah tersebut membuatnya sangat penasaran dan akan berusaha menyelesaikan bab-bab berikutnya. Namun sampai begitu lama ia tidak pernah berkabar lagi.

Saya jadi curiga, jangan-jangan ada sesuatu pada naskah novel tersebut yang membuat orang yang membacanya memilih diam daripada memberi komentar. Kecurigaan saya memaksa untuk membuka-buka lagi naskah novel tersebut dan saya pikir saya harus merombaknya karena ada bagian-bagian yang boleh dikatakan sensitif alias menyinggung unsur SARA.

Saat posting ini saya tulis naskah novel tersebut sedang dalam proses untuk diterbitkan.

Kamis, 07 November 2013

Perlukah Membuat Outline Sebelum Menulis Novel?



Membuat Outline
Perlukah membuat outline sebelum menulis novel? Ini bisa menjadi pertanyaan siapa saja yang tertarik untuk menulis novel untuk pertama kali. Saya sendiri tidak pernah memikirkan hal itu sampai menulis beberapa novel.

Namun demikian, saya kemudian merasa patut mempertimbangkan untuk membuat outline terutama kalau novel yang saya tulis akan membutuhkan banyak bab dan halaman. Ternyata outline sangat membantu saya dalam menggarap novel yang saya rencanakan, apalagi kalau sinopsisnya juga sudah disiapkan.

Tanpa outline dan sinopsis saya biasanya cenderung membaca kembali bagian novel yang telah saya tulis sebelum melanjutkannya. Ini cukup memakan waktu dan celakanya bisa membikin jenuh sehingga penyelesaian novel bisa memakan waktu lebih lama daripada seharusnya.

Membuat Outline Dengan MindMapper


Buku-buku tentang Mind Mapping sudah sering saya lihat di toko buku, namun karena saya sok tahu atau lebih tepatnya tidak mau “mengosongkan gelas”, buku-buku tersebut saya lewatkan begitu saja. Sampai kemudian saya ikut Kos Hebat di Yogyakarta, seorang mentor bernama Pradnya Ratih mengenalkan sebuah piranti lunak bernama MindMapper.

Seperti namanya, piranti ini sangat bermanfaat untuk membantu kita memetakan pikiran, mulai dari menyusun jadwal kegiatan sampai membuat outline buku yang hendak kita tulis. Cara menerapkannya ternyata sangat mudah. MindMapper tentu sangat bermanfaat bagi pemulis novel seperti saya.

Belakangan, setiap kali saya hendak menulis novel saya selalu membuat outline terlebih dahulu dengan piranti lunak ini. Dan hasilnya, saya bisa menyelesaikan novel saya dalam waktu relatif lebih cepat.

MindMapper membuat saya bisa memiliki outline novel yang rapi dalam berbagai bentuk, dan tidak berlebihan kalau saya katakan, piranti lunak ini juga bisa membuat saya lebih bergairah dalam menulis novel. Selain itu, kalau misalnya saya mengalami kemandegan di satu bab, saya akan dengan sangat mudah bisa melompat ke bab lain, sebab alur cerita sudah dipetakan sedemikian rupa.


Rabu, 06 November 2013

Menciptakan Pasif Income Dari Menulis Novel

Mimpi Sang Pramugari
Awalnya, menulis novel dan cerpen bagi saya hanya sekadar menyalurkan hobi corat-coret yang tumbuh dari kegemaran membaca apa saja, dari sobekan koran bekas pembungkus barang belanjaan sampai pada buku-buku yang tebal. Sama sekali tidak terlintas di benak saya kalau kelak kegiatan menulis novel dan cerpen bisa menciptakan pasif income.

Sesungguhnya, saya sudah sangat senang kalau mendapati tulisan cerpen saya dimuat di koran. Terus terang kesenangan ini jauh lebih besar daripada kesenangan yang saya rasakan kemudian ketika menerima honor. Maklum, honor yang saya terima dari menulis cerpen waktu itu dari koran lokal tidak cukup banyak, sekadar untuk mengganti ongkos kertas.

Namun ketika kemudian cerpen dan cerber saya mulai dimuat di media cetak nasional yang terbit di Jakarta, saya mulai menikmati enaknya menjadi orang yang bisa menulis cerpen dan cerber/novel. Gairah menulis cerpen dan cerber/novel pun seperti mendapat rangsangan sehingga ide-ide untuk menulis mengalir deras.

Ketika saya menerima surat dari seorang sastrawan senior, almarhum Satyagraha Hoerip, yang berisi komentar positif tentang salah satu cerpen saya yang dimuat di sebuah koran minggu, saya betul-betul excited.  Apalagi beliau lantas minta izin pada saya untuk menerjemahkan cerpen saya itu ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Bayangkan, bagaimana melambungnya perasaan saya pada waktu itu. Itulah saat pertama kali saya tahu kalau karya cerpen itu bisa menghasilkan honor lebih dari satu kali.

Setelah sejumlah cerpen dan cerber/novel saya diterbitkan sebagai buku, saya baru menyadari kalau kegiatan menulis cerpen dan novel yang belum begitu serius saya lakoni telah menciptakan ladang pasif income. Dengan duduk manis saja saya bisa mendapatkan royalty berulang kali dari buku yang terjual.

Apakah Anda tidak tertarik menjadi penulis cerpen atau novel?

Selasa, 05 November 2013

Menulis Novel Sambil Menjadi Agen Ayurveda



ayurveda
Menulis novel kembali saya tekuni setelah hampir sepuluh tahun melewati masa tidak produktif. Di tengah kesibukan menulis novel saya yang ke-4, saya tiba-tiba mengalami gangguan kesehatan yang benar-benar mengganggu kegiatan menulis saya.

Awalnya, saya tidak begitu peduli pada gejala gangguan kesehatan berupa pilek yang menyumbat hidung saya. Saya tidak berusaha menelan obat-obatan untuk mengatasinya karena, saya takut maag saya kambuh. Sampai kemudian saya minum jus alpukat yang ternyata memakai bahan pemanis buatan, yangkemudian membuat saya menderita radang tonggorokan yang sangat menyiksa, sampai membuat saya sesak nafas.

Kegiatan menulis novel harus dihentikan untuk sementara.  Suka tidak suka, saya harus ke dokter memeriksakan diri dan hal yang sangat tidak saya sukai terjadi.  Dokter spesialis penyakit dalam, yang saya kenal baik, memaksa saya menelan 4 jenis obat yang membuat saya seperti orang mabuk setiap kali bangun pagi. Obat-obatan itu memberi efek yang sangat tidak bagus buat maag saya.

Karena tidak tahan, dan juga karena ingin segera kembali bisa menulis novel, saya melakukan penulusuran lewat Google, mencari obat yang dapat menyembuhkan penyakit saya tanpa harus mengalami efek samping. Akhirnya ketemu dengan obat herbal bernama Ayurveda, yang ternyata sudah digunakan selama ribuan tahun.

Testimoni yang diberikan oleh orang-orang yang pernah menggunakan ayurveda langsung membuat saya percaya dan saya segera menghubungi agen ayurveda Indonesia. Singkat cerita, setelah diminta menghubungi agen ayurveda di Bali, saya tertarik untuk bergabung menjadi distributor.

Ayurveda telah berhasil memulihkan kesehatan saya, sehingga saya bisa kembali menulis novel saya tertunda. Oya, saya menjadi distributor bukan semata-mata karena unsur bisnisnya yang menarik, tetapi karena juga memberi peluang bagi saya untuk membantu orang lain yang mengalami masalah seperti saya, tidak tahan dengan obat-obatan kimia.

Sabtu, 02 November 2013

Bagaimana Saya Mulai Menulis Novel




Menulis Novel
Sebenarnya saya tidak punya cita-cita untuk menjadi seorang penulis novel, walaupun pada saat itu saya sudah menulis beberapa cerpen dan dimuat di media cetak lokal. Bagi saya, menulis cerpen empat halaman folio saja sudah merupakan perjuangan yang berat, apalagi menulis novel yang jumlah halamannya sampai puluhan bahkan ratusan.

Tidak Ada Bakat Menulis Novel


So, menulis novel sama sekali tak terlintas di benak saya, apalagi menyadari diri tidak memiliki bakat. Betapa tidak, waktu masih sekolah, angka 6 adalah nilai tertinggi yang bisa saya capai untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sangat masuk akal kalau saya katakan saya tidak berbakat sebab, nilai-nilai yang saya dapatkan untuk mata pelajaran lain berada di atas nilai rata-rata kelas, sehingga saya bisa naik kelas setiap tahun dengan ranking terbaik (numpang ngecap nih!).

By the way, tahukah Anda kenapa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia saya kurang bagus? Saya akui, saya kurang suka pelajaran Bahasa Indonesia. Apa pasal? Saya ini pemalu (yang terkadang malu-maluin juga, hehehe). Setiap ada pelajaran Bahasa Indonesia saya selalu disiksa  perasaan grogi, karena guru Bahasa Indonesia sering minta kami bercakap-cakap di depan kelas, sesuatu yang sangat tidak saya sukai sebagai orang pemalu. :-(

Berkat Banyak Membaca & Kehilangan Buku Harian


Saya bersyukur ketika kemudian menemukan kompensasi untuk kekurangan saya itu. Kecenderungan saya untuk menutup diri dan menyendiri memberi saya peluang untuk menulis buku harian dan melahap bacaan sebanyak mungkin, terutama cerpen dan novel.

Well, bagaimana ceritanya saya bisa membalikkan keadaan dari merasa tidak berbakat sampai berhasil menjadi penulis novel? Pemicunya adalah sebuah kecelakaan. Bukan kecelakaan lalu lintas atau semacamnya, melainkan kecelakaan dalam tanda kutip: saya kehilangan buku harian.
Ceritanya, waktu itu saya baru mulai bekerja pada sebuah peruhaan. Saya tinggal di rumah kos saudara yang berbaur dengan kos-kosan siswa. Suatu hari salah seorang siswa yang kos di situ nyeletuk begini: “Novelnya bagus lho, Pak!”

“Novel apa?” tanggap saya karena tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Ia menjawab pertanyaan saya dengan menyodorkan buku yang ada di tangannya, yang ternyata adalah buku harian saya.

Sejak hari itu saya merasa bisa menulis novel. Namun, karena tidak langsung action, karena terkendala oleh satu dan lain hal, beberapa tahun kemudian saya baru berhasil merampungkan sebuah novel. Itu pun dalam tulisan tangan. Harap maklum, waktu itu saya tidak punya mesin ketik apalagi komputer.

Bagi Anda yang hidup di abad teknologi informasi dengan fasilitas yang serba canggih, tentu tidak alasan untuk menunda mengambil tindakan begitu Anda merasa bisa menulis novel.