Disambar Petir



      Belakangan hujan makin sering bertandang lewat tengah hari. Gugusan-gugusan awan biasanya sudah mengotori wajah langit sejak hari mulai bangkit. Ini pertanda musim hujan sudah menjelang.
      Dan pagi ini mendung datang begitu cepat seperti mengepung langit di atas desa. Mereka yang baru saja selesai mencuci pakaian pada menggerutu dan buru-buru memasukkan jemuran ke serambi atau tempat lainnya yang terlindung dari hujan.
      “Bukan main,” gumam Biakta. Lelaki muda itu tampak berdiri di halaman rumahnya, berkacak pinggang sambil menengadah ke angkasa. Sebersit perasaan puas terpancar dari wajahnya. Dalam benaknya melintas bayangan seorang laki-laki setengah baya, Wak Lingsir namanya, yang baru saja mencelupkan sebiji kelapa gading ke dalam kolam ikan di belakang rumahnya.

*
      “Hei, angin apa yang membawamu ke mari, Nak? Tumben sekali datang,” begitu sambut Wak Lingsir ketika Biakta datang ke rumah duda setengah baya itu sehari sebelumnya.
      “Anu… Wak, saya perlu bantuan Wak,” cetus Biakta tanpa basa-basi begitu duduk  di lantai serambi rumah Wak Lingsir yang beralaskan selembar tikar pandan.
      “Pemuda segagah kau perlu bantuanku? Yang benar saja, Nak. Kau lihat sendiri, aku ini tak punya apa-apa, lagi pula sudah tua. Coba katakana, bantuan apa yang dapat kuberikan padamu?”
      “Ah, Wak jangan begitu. Saya dan Wak kan sama saja, sama-sama manusia yang tak mungkin selalu bisa menyelesaikan masalah seorang diri.”
      Wak Lingsir mengelus-elus dagunya yang berambut lebat, mencoba meraba maksud kata-kata Biakta dengan pikiran tuanya.
      “Saya sedang sakit hati, Wak,” lanjut Biakta tanpa ragu.
      “Sakit hati bagaimana?” Wak Lingsir mengerutkan keningnya.
      “Saya ditinggal kawin pacar saya.”
      “Kasihan…”
      “Upacara perkawinan mereka dilangsungkan besok lusa,” terus Biakta.
      Wak Lingsir menerawang sebentar sebelum akhirnya menyahut, “Itu memang hari baik untuk upacara pawiwahan[1].”
      “Tapi saya ingin  hari itu jadi hari yang buruk buat mereka.”
      Wak Lingsir kembali mengerutkan kening.
      “Maksudmu?”
      “Saya mohon bantuan Wak agar hujan lebat bisa turun sepanjang hari, biar mereka tahu bagaimana rasanya menanggung rasa malu dan kecewa.”
      Wak Lingsir penasaran.
      “Sebentar, Nak,” katanya. “Mereka itu siapa?”
      “Lasmini dan Lugra,” jelas Biakta.
      Pandangan Wak Lingsir jatuh ke lantai tempat ia dan Biakta tengah duduk beralaskan selembar tikar pandan yang sudah lusuh. Kemarin, seorang utusan dari keluarga pengantin datang kepadanya. Ia diminta nerang saat upacara pernikahan berlangsung, supaya prosesi upacara dapat berlangsung dengan baik dan para undangan dapat hadir pada waktunya.
      “Saya mengerti,” kata Wak Lingsir setelah menelan ludah. “Perasaan kecewa yang kau tanggung rupanya membuatmu begitu dendam. Tapi, seharusnya kau sadar, kekecewaaan yang dilampiaskan dengan cara demikian bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah.”
       “Saya memang tak berniat menyelesaikan masalah. Saya terlanjur sangat benci,” kata Biakta geram, sementara matanya tampak berkaca-kaca.
       Wak Lingsir menggeleng-gelengkan kepala pertanda prihatin. “Saya juga pernah muda seperti kau,” tuturnya.”Dan juga pernah mengalami hal pahit seperti yang kau tanggung. Tapi, kalau boleh saya sarankan, berpikir panjanglah. Kau masih muda, masih banyak yang dapat kau lakukan untuk masa depanmu.”
       “Wak tak usang ngelantur,” sergah Biakta. “Saya tidak datang untuk minta nasihat. Kalau memang tidak bisa membantu saya, katakan saja terus terang.”
      “Harap jangan kecewa. Saya justru akan membantu keluarga pengantin. Mereka sudah mengirim utusan ke sini kemarin.”
      “O…,” Biakta bersungut-sungut dengan wajah masam. “Rupanya mereka begitu kuatir sampai-sampai mengundang dua tukang terang sekaligus,” gumamnya.
      “Kau bilang apa, Nak?”
      “O, tidak. Saya tidak bicara dengan Wak. Saya mau pamit dulu.”
       Begitu Biakta mengurai silanya dan bangkit berdiri, Wak Lingsir juga bangun dan berusaha menahan Biakta.
      “Rasanya tadi kau menyebut dua tukang terang. Apa maksudmu?”
      “Sebelum ke sini, saya sudah pergi ke rumah Wak Tunas untuk keperluan yang sama. Tapi seperti Wak, ia juga tidak bisa menolong saya. Alasannya sama, keluarga pengantin sudah lebih dulu datang kepadanya. Rupanya mereka sangat kuatir sehingga merasa perlu mengundang dua pawang hujan.”
      Wajah Wak Lingsir tampak memerah terbakar amarah. Selama ini tidak ada orang di desa ini yang meragukan kemampuannya. Ia merasa tersinggung dengan ulah keluarga pengantin yang mengundang dua orang pawang hujan. Itu sama saja artinya menganggap ia tak mampu bekerja sendiri. Ini sebuah penghinaan
      “Kau tidak bohong?” tanya Wak Lingsir ingin memastikan.
      “Kalau tidak percaya, tanya saja Wak Tunas. Memangnya kenapa?”
      “Tak apa-apa. Saya akan membantumu.”
      Biakta heran melihat perubahan sikap Wak Lingsir yang mendadak itu.
      “Wak serius?”
      “Lihat saja nanti.”
      “Terima kasih, Wak,” kata Biakta dengan wajah bersinar sambil merogoh saku lalu mengangsurkan lembaran-lembaran kertas berharga. “Ini sekadar untuk beli rokok.”
      “Tak usah,” Wak Lingsir menolak sambil mengibaskan tangan.

*

      Petir pertama menggelegar menyusul kilat yang muncul dengan tiba-tiba bagai merobek wajah langit. Biakta masuk ke kamarnya. Dari laci meja ia mengeluarkan selembar foto wanita. Dipandanginya foto close-up itu berlama-lama.
      “Meski tak sepahit yang kutanggung, bagaimanapun kau harus merasakan juga apa yang kurasakan,” ujarnya penuh emosi lantas merobek-robek foto itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
      Di luar hujan membahana. Gemuruh suaranya membangkitkan perasaan cemas seluruh penduduk desa. Kilat yang sebentar-sebentar menyambar seperti memberi isyarat bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana.
      Di rumah pengantin, orang-orang pada kalang kabut, bingung dan tidak mengerti mengapa ada hujan yang demikian lebat, padahal kedua pawang hujan yang paling disegani di desa ini sudah berjanji akan mengamankan upacara dari hujan.
      Mereka menyebut-nyebut nama Wak Lingsir dan Wak Tunas sambil mengeluh bahwa mereka berdua mungkin sudah terlalu tua sehingga sudah tidak mampu lagi menaklukkan hujan.
      Tidak ada yang tahu kalau mereka berdua kini sedang berkutat dengan kegiatannya masing-masing yang saling bertentangan. Wak Lingsir duduk bersila di sebuah bilik khusus di rumahnya. Matanya terpejam. Sebatang keris mungil tergenggam di tangannya yang bersatu di depan dada. Ujung keris itu menuding langit.
      Di rumahnya, Wak Tunas juga sedang duduk bersila. Di depan ada nyala api kecil berkedip-kedip. Kedua ibu jari tangannya yang bertemu di lekuk uluhati bergetar keras. Ia tengah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menundukkan hujan yang tengah mengguyur bumi, sehingga dari saat  ke saat  keringatnya mengucur deras membasahi tubuh.
      Beberapa saat berlalu ketika tubuh Wak Tunas kelihatan mulai goyah, sebentar-sebentar terhuyung ke depan lalu oleng ke kiri. Di saat lain miring ke kanan dan pada akhirnya ambruk tidak berdaya. Sementara itu  hujan kian ganas membabat bumi, tetapi mulai sepi dari petir.
      Wak Lingsir menarik napas lega lalu bangkit dari duduknya.
      “Pesta hujan! Biar mereka pesta hujan hari ini,”  teriaknya lirih sambil tersenyum puas.

*

      Menjelang senja, Wak Lingsir melangkah ringan ke kolam ikan di belakang rumahnya. Kelapa gading yang dicelupkannya tadi pagi diangkatnya, dan hujan pun berangsur reda. Tak berapa lama kemudian terlihat rombongan kecil menembus sisa gerimis petang menuju rumah Wak Lingsir. Lelaki muda yang berjalan paling depan tampak menggendong sesuatu.
      Wak Lingsir berdiri tegang menyambut kedatangan mereka. Jantungnya berdenyut lebih kencang dari biasanya.
      “Tenangkan hati Wak menerima kenyataan ini,” ujar Subawa, lelaki muda itu. “Ia telah tiada. Saya dan teman-teman mendapatinya tergeletak di gubuk di tengah sawah. Tampaknya ia disambar petir.”
      Wak Lingsir terpaku bagai kena sihir. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia baru ingat kalau Wayan Lara, anak satu-satunya, pagi-pagi sekali telah pergi ke sawah untuk menggembalakan itiknya.***

Amlapura, April 1986



[1] Perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar