Malam telah jatuh. Bulan yang bulatnya belum sempurna merangkak perlahan di ufuk timur. Michael berdiri terpesona di serambi kamar hotelnya di lantai empat. “Luar biasa,” desahnya demi menyaksikan panorama yang demikian memikat. Angin seakan tak pernah tidur, sehingga barisan pohon-pohon kelapa di sekeliling hotel tampak bagai sekelompok penari yang tengah mempertontonkan gerakan-gerakan yang gemulai sementara permukaan laut di bawah sana berkilauan diterpa cahaya bulan.
“Untung aku tidak terbujuk ajakan
Becky,” lanjut Michael bermonolog. Seketika ia teringat Tokyo dan
perbincangannya dengan salah seorang perserta konferensi yang membahas masalah korupsi. Wanita Amerika
itu sempat mengajaknya jalan-jalan ke India sebelum kembali ke negara
masing-masing.
“Saya mau ketemu guru meditasi saya,”
Becky memberikan alasan. “Anda akan mengalami sesuatu yang lain di sana. Mau
ikut?”
“Tapi saya mau ke Bali,” kilah Michael.
“Bali? Saya pernah dengar itu. Apa yang
membuat Anda tertarik ke sana?”
“Teman saya sudah ke sana tahun lalu.
Dia bilang Bali sangat cantik dan unik. Saya akan bertemu orang-orang yang
sangat ramah di sana. Saya pikir saya harus ke sana.”
Becky tersenyum.
“Kedengaran sangat menarik,” respon
Becky. “Tapi, bagi saya, tak ada yang lebih menarik dari India, yang telah
memberi saya pengalaman spiritual yang indah. Oke, kita akan pergi ke tempat
yang berbeda. Bagus juga, kita bisa bertukar cerita nanti.”
Sebenarnya Michael enggan bergeser dari
tempatnya, tetapi ia harus segera turun untuk ikut acara buffet dinner.
Sampai di bawah, dilihatnya orang-orang
sudah berduyun-duyun menuju ke tempat diselenggarakannya acara makan malam,
sebuah arena di alam terbuka. Sekitar lima puluh meter dari situ terbentang
laut selatan yang ombaknya tak pernah berhenti berdebur.
“Sungguh unik,” Michael mendecakkan
lidah terus berdiri pada ekor antrian, menunggu giliran mengambil makanan yang
terhidang di atas meja panjang yang dilapisi kain bercorak kotak-kotak hitam
putih seperti papan catur. Keluar dari antrian dengan piring penuh, ia
melangkah tertegun-tegun, menimbang-nimbang di mana sebaiknya duduk. Acara ini
memang dibuat lain dari yang lain, diadakan di alam terbuka dekat pantai di
belakang hotel.
Michael tidak mau duduk terlalu jauh
dari panggung pertunjukan. Ketika dilihatnya sebuah meja kosong di bawah
sebatang pohon waru, ia bergegas ke sana. Tetapi, dalam waktu yang sama seorang
wanita berkulit putih juga mengarahkan langkahnya ke situ.
“Anda ingin meja ini?” tanya Michael
ketika mereka sama-sama hendak meletakkan piring makanan.
“Ya,”sahut si wanita. “Dan Anda?”
“Kalau tidak keberatan…?”
“Oh, tidak. Silakan, meja ini cukup
lebar kan untuk kita berdua?”
“Terima kasih,” Michael mulai duduk.
“Saya Michael,” ia memperkenalkan diri. “Nama Anda?”
“Liza,” jawab si wanita yang juga mulai
duduk. “Anda dari Jerman?”
“Kok tahu?”
Liza tersenyum untuk pertama kalinya.
“Cuma nebak. Saya jadi teringat Michael Stich, pemain tenis itu.”
“Oh…! Apa Anda pemain tenis juga?”
Liza menggeleng. “Cuma penggemar.”
“Anda dari mana?”
“Australia.”
Seorang pramusaji laki-laki muncul,
mengucapkan permisi dengan ramah lalu meletakkan gelas gula di atas meja
mereka. Setelah ia berlalu, mereka mulai bersantap, sementara gamelan mulai
ditabuh di atas panggung. Michael ingin cepat-cepat menyelesaikan makannya
karena ia ingin menikmati pertunjukan dengan perhatian penuh. Ia pun menahan
diri walaupun sebenarnya masih ingin ngobrol panjang lebar dengan Liza. Tetapi
karena belum ada penari yang muncul di atas panggung, akhirnya ia berpaling
lagi pada Liza.
“Anda pernah ke Bali sebelumnya?”
“Ini kali yang keempat,” jawab Liza
dengan nada bangga.
“Bukan main. Beruntung saya tak
kehilangan kesempatan ini.”
“Kenapa?”
“Saya baru habis ikut konferensi di
Tokyo.”
“Oh, rupanya Anda seorang pakar.”
“Saya hanya seorang dosen yang
menjalankan tugas.”
Gamelan berhenti sejenak, lalu
mulai lagi. Semenit kemudian muncul seorang penari wanita dari belakang
panggung, mempertunjukkan gerakan yang lincah dengan kostum yang berhiaskan
manik-manik berwarna-warni. Michael tidak berkedip menyaksikannya.
“Luar biasa,” pujinya. “Apa Anda
bisa menggerakkan mata seperti itu?” tanyanya pada Liza.
“Pasti bisa, kalau saya lahir di
sini,” kilah Liza seraya tersenyum.
“Oh, sebaiknya saya bikin
beberapa foto. Maaf, saya mau ambil tustel sebentar.”
*
Michael setengah berlari ke
kamarnya. Dengan gerakan terburu-buru ia keluarkan tustel dari travel bag-nya lalu menyangkutkan
talinya ke leher. Ketika hendak keluar, dari gorden jendela yang tersibak
tiba-tiba dilihatnya sebuah bayangan bergerak di ketinggian.
Sebuah pesawat? Merasa aneh,
Michael lalu membuka pintu. O, my God! Ia
melongo seperti orang bego menyaksikan sebuah pesawat udara yang melintas
begitu dekat tetapi tanpa suara sama sekali, mirip Stealth A-117.
“Hei, itu pesawatnya Amerika,” gumam Michael.
“Kenapa bisa berada di sini?”
Baru saja Michael mengangkat tustel
untuk memotret, pesawat itu tiba-tiba menukik cepat ke arah pantai dan lantas
lenyap begitu saja.
“Gila! Ini tidak masuk akal!” ujarnya
sambil terbengong-bengong.
Dengan hati masih penasaran ia lalu
turun dan sejurus kemudian ia sudah duduk lagi di hadapan Liza.
“Anda baik-baik saja?” Liza manatapnya
sedemikian rupa seperti ada sesuatu yang aneh pada diri Michael.
“Ya,” sahut Michael cepat. “Saya baru
saja melihat sesuatu yang luar biasa.”
“Bali memang luar biasa,” tanggap Liza
enteng.
“Tapi ini lain. Saya bahkan ragu bilang
pada Anda, kuatir Anda tidak percaya.”
“Katakanlah, apa yang Anda lihat?”
“Sebuah pesawat!”
“Pesawat macam apa?” Liza terlonjak.
“Pesawat yang tidak bersuara, seperti
yang dipakai Amerika pada Perang Teluk.”
“Di mana Anda lihat?” Liza tampak begitu
antusias.
Michael tampak tambah penasaran dan
balik bertanya, “Anda pernah lihat juga?”
Liza tersenyum tipis. “Saya justru
sedang mengincar pesawat itu.”
“Apa?”
Michael memandang Liza lurus-lurus. “Anda pasti bercanda.”
“Saya
serius. Saya punya kepentingan dengan pesawat itu.”
“Saya
tidak mengira kalau Anda seorang mata-mata,” ucap Michael was-was.
Liza tersenyum melihat ketegangan di
wajah Michael. “Apa saya tampak seperti seorang mata-mata?”
“Seorang wanita punya kepentingan dengan
pesawat tempur. Apakah itu bukan sebuah petunjuk?”
“Santailah Tuan, ini tidak seperti yang
Anda sangka. Anda tidak keberatan kan mengantarkan saya melihat pesawat itu?”
Michael bimbang, tetapi keingintahuannya
yang besar segera menghapus kebimbangan itu.
“Baiklah, akan saya tunjukkan. Tapi Anda
harus katakan pada saya apa sebenarnya kepentingan Anda dengan pesawat itu.”
Liza kembali tersenyum. “Jangan kuatir,
saya tak akan membuat Anda menyesal. Ini sangat menarik.”
“Sungguh?”
Sambil mengangguk Liza kembali menebar
senyum. Mereka berdua sepakat meninggalkan meja untuk kemudian menyusuri tepi
kolam renang dan selanjutnya menuruni undakan di belakang hotel.
“Ke sini,” ujar Michael minta Liza
mengikuti langkahnya berbelok ke kanan, lalu mereka mulai menyusuri pantai.
Mereka sudah berjalan sekitar seratus
meter dari hotel ketika terdengar suara orang bercakap-cakap. Mereka bereaksi
dengan mengawaskan pandangan ke sekeliling. Akhirnya mereka melihat seorang
laki-laki dan seorang perempuan sedang duduk di bawah sebatang pohon pandan
besar. Mereka segera mendekat.
“Maaf, mengganggu,” Michael
berbasa-basi.
“Ada apa?” sahut si wanita ketus.
“Maaf, apa Anda melihat pesawat tadi di
sekitar sini?” tanya Michael.
“Apa? Pesawat?” tanggap wanita itu dan
langsung terbahak-bahak. “Pesawat macam apa?”
“Pesawat tempur.”
“Mana ada pesawat macam itu di tempat
seperti ini?”
Michael mengumpat tak jelas ditanggapi
seperti itu. “Sebaiknya kita pergi dari sini,” ajaknya pada Liza.
“Sebentar,” Liza menyilangkan tangan di
depan dada sambil memandangi bintang-bintang di langit, seakan sedang menikmati
suasana di sekitar tempat itu. Sementara bahana suara gamelan terdengar
sayup-sayup dari arah hotel yang barusan mereka tinggalkan.
“Anda tidak merasakan sesuatu, Michael?”
tanya Liza.
”Apa?”
“Suhu udara yang agak ganjil.”
“Terasa agak gerah, padahal di sini
banyak angin,” jelas Michael.
“Saya tahu yang Anda inginkan,”
tiba-tiba perempuan di bawah pohon pandan itu nyeletuk dengan nada tinggi,
mengagetkan Liza dan Michael. “Saya peringatkan, jangan coba-coba ganggu saya.
Anda akan bayar mahal untuk itu.”
“Kita kembali ke hotel saja. Saya merasa
tidak enak,” ajak Liza setengah berbisik dan terus beranjak tanpa menunggu
reaksi Michael.
“Aneh! Saya merasakan sesuatu, tapi saya
tak dapat mengenali,” Michael mengayun langkah mengikuti Liza.
*
Pertunjukan terus berlangsung. Michael
mengabadikan setiap momen yang dianggapnya menarik dengan kameranya, sementara
Liza duduk gelisah di kursinya. Berkali-kali ia melemparkan pandang ke arah
pantai, berharap dapat melihat pesawat yang sudah berulang-kali diceritakan
orang kepadanya. Ia kesal karena tak pernah dapat kesempatan melihat sendiri.
Sejauh ini ia hanya mendengar cerita, bahkan dari Michael yang baru pertama kali
datang ke Bali.
Mulanya, ia sangat meragukan berita yang
absurd itu. Berita yang dicurigainya berasal dari orang-orang yang mengalami
halusinasi. Tetapi karena semakin banyak orang mengaku pernah melihat pesawat
dengan ciri-ciri serupa, lama-lama dicampakkannya keraguannya sebagaimana ia
membuang ketidakpercayaannya akan adanya leak[1]
pada kehidupan malam di Bali, sampai kemudian tumbuh niatnya untuk menulis
buku.
Ia telah mengorbankan banyak waktu dan
mengunjungi banyak tempat untuk dapat mewujudkan impiannya. Tak terhitung sudah
berapa biaya yang dihabiskannya untuk bertemu orang-orang yang bisa memberi
informasi seputar ilmu pengeleakan. Banyak yang telah ia alami: mulai dari rasa
takut, jijik, ngeri dan semacamnya. Aneka sosok aneh telah pernah ia saksikan,
yang merupakan siluman leak itu sendiri. Makin tinggi tingkat ilmu yang
dikuasai seseorang, biasanya makin aneh dan seram wujud silumannya.
Sebenarnya bahan-bahan yang berhasil
dihimpunnya sudah memadai untuk merampungkan bukunya. Tetapi munculnya berita
tentang pesawat itu membuatnya tertarik untuk melengkapi bukunya dengan kisah
pesawat itu. Itu pula sebabnya kenapa ia masih bertahan di kursinya padahal
pertunjukan sudah lama selesai.
“Agaknya cerita saya sangat mempengaruhi
Anda,” kata Michael mulai cemas.
“Katakan, apa sebenarnya arti pesawat itu
bagi Anda?”
“Pernah dengar tentang leak?” Liza balik
bertanya.
“Binatang apa itu?” Michael mengerutkan kening. “Baru kali ini
saya dengar.”
“Itu makhluk siluman yang terjelma dari
orang yang mempraktekkan ilmu hitam. Dan pesawat itu adalah leak. Saya dengar,
hanya satu orang saja yang mampu jadi pesawat seperti yang Anda ceritakan itu.”
“Tapi apa peduli Anda?”
“Saya sedang menulis buku tentang leak.”
“Betul? Pantas Anda begitu antusias.”
Liza melihat arloji tangannya lalu
berucap, “Sudah larut malam. Anda pasti sudah ngantuk.”
“Ya. Saya pikir saya harus segera
tidur.”
“Oke. Selamat malam.”
*
Michael tidak langsung tidur setiba di
kamarnya walaupun sudah menjelang tengah malam. Ia mendekati jendela dan menyibakkan
gorden. Ia masih berharap bisa melihat kembali pesawat yang aneh itu. Tetapi
sampai matanya berat diserang kantuk, pesawat itu tak kunjung muncul.
Kokok ayam sudah mulai terdengar ketika Michael mulai berbaring. Tak lama kemudian suara berisik mengusiknya, tetapi karena matanya sangat berat ia enggan bangun untuk mengetahui apa yang terjadi. Hanya umpatan yang terlontar dari mulutnya, sementara matanya tetap terpejam.
Besok paginya ia mengeluh pada petugas hotel.
“Maaf, saya kira tak seorang pun ingin hal itu terjadi,” kata resepsionis minta pengertian. “Seorang wanita telah mengalami kecelakaan dan memerlukan pertolongan gawat darurat.”
“Kecelakaan apa?”
“Tak jelas, Tuan. Petugas keamanan bilang, wanita itu duduk sendirian sampai larut malam di bawah pohon kelapa.”“Anda tahu siapa namanya?” Michael mulai cemas.
“Nona Liza.”
“Liza?!” Kedua
bola mata Michael seperti hendak melompat ke luar.
“Ya. Apa Tuan
mengenalnya?”
“Dia teman
saya.”
“Maaf, kami tak
tahu.”
“Kami baru kenal
tadi malam. Di mana dia sekarang?”
“Di rumah
sakit.”
“Saya ingin ke
sana, bisa Anda bantu?”
“Tentu saja.”
*
Michael mendapati Liza sedang
berbaring dengan wajah pucat di sebuah ruangan yang bersih dan tertata rapi.
Kedua bola matanya tampak agak melesak ke dalam.
“Hai,” sapa Michael.
“Hai,” balas
Liza lemah.
“Saya harap Anda
baik-baik saja,” Michael mendekat.
Liza diam.
Wajahnya berkerut seperti sedang menahan sakit.
“Dia menyerang
saya,” katanya kemudian.
“Siapa?”
“Wanita yang
kita jumpai tadi malam. Setelah Anda meninggalkan saya, ia datang dan menyodok
perut saya dengan tiba-tiba. Saya tidak terluka, tapi perut saya seperti
terbakar. Saya tak tahan dan saya terjatuh. Dia mengancam akan membunuh saya.”
Liza memegangi perutnya lalu mengerang kesakitan.
“Dokter tidak
memberi obat?” tanya Michael.
“Saya telah
meminumnya.”
“Saya panggilkan
dokter ya?”
Liza menggeleng.
“Percuma. Ia hanya akan bilang saya tidak apa-apa.”
“Tapi nyatanya
Anda menderita begini.”
“Itulah. Saya
tidak mengerti.”
Michael menarik
napas panjang sambil memandangi wajah Liza dengan perasaan iba, seperti ketika
terakhir kali menjenguk adik perempuannya yang meninggal setelah menjalani
operasi.
“Saya tidak tahu
bagaimana harus menolong Anda.”
“Terima kasih.
Saya juga tidak tahu apa saya masih bisa ditolong. Rasanya saya akan mati
karena rasa sakit ini.”
“Jangan berkata
begitu. Bukankah Anda mau menulis buku? Anda harus bertahan. Anda pasti bisa
pulih. Jangan kuatir, saya akan lakukan sesuatu untuk Anda.”
Duduk kembali di
dalam taksi, Michael berpikir keras ke mana ia harus pergi.
“Kembali ke
hotel, Tuan?” tanya sopir taksi.
“Saya tidak
tahu,” sahut Michael bingung.
“Anda tampak
begitu risau, Tuan. Kenapa?”
“Saya
mencemaskan teman yang barusan saya jenguk. Ia begitu menderita karena diserang
seorang wanita tadi malam.”
“Diserang
wanita? Bagaimana bisa terjadi, Tuan?”
“Itulah yang
membuat saya tak habis pikir. Teman saya tidak kenal dengan wanita itu.”
“Aneh,” ujar
sopir taksi sambil menginjak pedal rem dalam-dalam sebab lampu merah menyala di
depan.
“Kami memang
sempat bertemu wanita itu di pantai tadi malam. Saya cuma menanyakan soal
pesawat yang sempat saya lihat beberapa saat sebelumnya, tapi ia kelihatan
tidak senang.”
“Tuan sempat
melihat pesawat yang kemudian hilang secara tiba-tiba?”
“Betul. Apa Anda
tahu sesuatu tentang pesawat itu?”
Sopir taksi
manggut-manggut. “Saya curiga, jangan-jangan wanita itu Ratri. Orangnya bisa
ngeleak dan memang jadi buah bibir
belakangan ini. Tapi, saya sangsi. Biasanya leak hanya menyerang orang yang
punya masalah dengannya. Apa teman Tuan itu punya urusan dengan wanita itu?”
“Setahu saya, ia
memang ada kepentingan dengan leak. Ia sedang menulis buku tentang leak.”
“Alangkah
beraninya teman Anda,” tanggap sopir taksi lalu menginjak pedal gas karena
lampu hijau telah menyala. “Itu sangat riskan. Ratri seorang pendendam,”
terusnya. “Konon ia belajar ngeleak karena
sakit hati.”
Taksi masuk ke
jalan utama kota Denpasar, merayap bersama kendaraan-kendaraan lain.
“Dulu,” sopir
taksi melanjutkan, “tanah tempat hotel itu berdiri konon milik kekasihnya.
Semula tanah itu tak akan dilepas. Saya tak tahu persis bagaimana kelanjutan
ceritanya. Yang sangat mengejutkan kemudian, mayat sang kekasih ditemukan
tergantung di sebuah pohon di pantai. Sejak itu Ratri menghilang entah ke mana.
Begitu kembali, terjadi sesuatu atas orang yang dulu memaksa kekasihnya menjual
tanah. Ia menderita penyakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah lama
dirawat di rumah sakit. Ketika orang itu meninggal, banyak yang curiga kalau
Ratri yang menjadi penyebab kematiannya. Menurut kabar dari mulut ke mulut,
Ratri konon dulu menghilang untuk mempelajari ilmu hitam.”
“Mengerikan,”
gumam Michael. “Saya tak ingin teman saya mengalami hal itu, tapi saya tak tahu
harus bagaimana.”
“Bawa saja ke balian[2].”
“Apa itu?”
“Dukun. Hanya dia
yang bisa menyelamatkan teman Tuan, kalau benar ia menderita karena diserang
leak.”
“Apa di sekitar
sini ada?” Semangat Michael bangkit.
“Ada, Tuan. Saya
tahu tempatnya. Tapi sebaiknya teman Tuan dibawa sekalian. Jangan sampai
terlambat, bisa fatal.”
“Kalau begitu,
kita balik ke rumah sakit sekarang,” pinta Michael.
Sopir taksi
cepat menyalip kendaraan di depannya. Pada sebuah persimpangan ia banting setir
ke kanan, memasuki halaman rumah sakit. ***
Jakarta,
Juli 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar