Sebenarnya kita pernah kaya," kata Ayah tatkala kutemani duduk-duduk di bale gede[1] pada suatu siang yang panas. Aku ingat waktu itu bulan Oktober, entah tahun berapa. Matahari musim kemarau begitu garang menyengat permukaan bumi. Kalau tidak berada di bawah lindungan bale gede yang beratap ilalang tebal tentu kami tak tahan mengenakan baju. Bale gede memang tempat yang nyaman untuk berangin-angin, sebab setengah sisinya terbuka.
"Rumah ini
jadi salah satu petunjuknya," lanjut Ayah sembari meraih selembar daun
sirih di pabuan yang ada di depannya. Setelah diolesi kapur dan dicampuri
serpihan gambir serta biji pinang, daun itu lalu dilipatnya dan dikunyahnya
pelan-pelan. Beberapa jenak kemudian ludah merahnya sudah tertampung pada
sebuah kaleng susu bekas.
"Sebenarnya
fungsi utama bangunan ini untuk menyelenggarakan upacara adat, " kata Ayah
pula. "Kau sudah tahu itu, kan?"
Aku mengangguk.
Aku tahu itu dari pengalaman saja. Dari melihat kenyataan di mana setiap
upacara adat yang pernah dilakukan selalu mengambil tempat di bale gede; apakah
itu upacara pernikahan, upacara potong gigi, atau pun upacara kematian.
"Coba kau
lihat, berapa jumlah tiang bangunan ini?" tanya Ayah.
"Dua
belas," jawabku cepat tanpa perlu menghitung lagi.
"Kau tahu,
apa artinya itu?"
Aku menggeleng.
"Jumlah itu
mengandung makna," ujar Ayah, dan ia mengusap bibirnya dengan gulungan
tembakau, "bahwa yang punya orang kaya."
Aku mengerutkan
dahi, tak paham.
"Orang yang
tidak kaya tak akan membuat bangunan begini. Sebagai gantinya akan dibuat
bangunan yang lebih kecil, tapi fungsinya sama saja. Kau tentu tahu bangunan
apa itu."
"Bale sekenem?
Rumah bertiang enam itu?" kataku masih ragu.
"Ya,
betul."
Bila kucoba
menghitung-hitung, hanya ada beberapa keluarga di banjar[2]
kami yang memiliki bale gede. Jadi hanya mereka yang tergolong kaya atau
setidak-tidaknya pernah kaya.
"Ada ciri
lain dari kepemilikan pendahulu-pendahulu kita," Ayah menyambung lagi.
"Lihatlah itu," ia menunjuk bangunan yang tegak di sudut barat laut pekarangan. "Jumlah
tiang dan letak lumbung padi itu juga mengandung makna. Pernahkah kau berpikir
mengapa lumbung itu dibangun selalu berdekatan dengan dapur dan jalan
raya?"
"Kalau
berdekatan dengan dapur barangkali karena ada kaitan dengan proses pengolahan,
dari padi sampai jadi makanan," aku mencoba menebak.
"Dan
berdekatan dengan jalan raya?"
Aku cuma bisa
tersenyum menanti penjelasan Ayah.
"Lumbung
itu semacam barometer ekonomi keluarga pada zaman kakekmu. Orang yang lewat di
jalan raya akan segera tahu apakah pemiliknya orang kaya atau termasuk
sedang-sedang saja, hanya dengan melihat jumlah tiang lumbung itu. Kalau enam
berarti sawahnya banyak, dan kalau empat berarti sedikit."
"Berapa
hektar sawah Kakek waktu itu?" tanyaku ingin tahu.
"Satu
hektar, seperti yang kita warisi sekarang," jawab Ayah.
"Punya
hanya satu hektar termasuk kaya?"
"Waktu itu
iya. Apalagi kakekmu anak tunggal."
"Boleh juga
peradaban di zaman Kakek," kataku mengomentari penjelasan Ayah.
"Memang,"
kata Ayah bersemangat seperti ingin menggarisbawahi ucapannya. "Kita juga
bisa buktikan dalam hal lain. Lihat,
bangunan-bangunan yang ada di pekarangan ini, seperti bangunan rumah Bali pada
umumnya, semuanya menghadap ke arah dalam. Jangan kau kira itu tidak mengandung
makna. Bangunan-bangunan itu dibuat sedemikian rupa sebagai penuntun agar para
penghuninya bisa tergerak setiap saat untuk mawas diri, melihat ke dalam
diri."
"Dari mana
pengetahuan seperti itu? Orang-orang di zaman Kakek kan tidak ada yang
bersekolah?" tanyaku skeptis.
Ayah
memperdengarkan suara tawanya.
"Mereka memang
tidak bersekolah, tapi bukan tidak belajar. Buktinya mereka bisa baca lontar.
Nah, di dalam lontarlah pengetahuan seperti itu banyak terdapat, termasuk
falsafah Tri Hita Karana, yang kini banyak dikutip para pejabat."
"Tri Hita
Karana, apa pula itu?" tanyaku.
"Tri Hita
Karana artinya tiga pedoman hidup bahagia. Pedoman pertama, mendekatkan diri
pada Hyang Widhi Wasa. Kedua, memelihara hubungan baik dengan sesama. Dan
ketiga, melestarikan lingkungan hidup."
Aku
terlongong-longong. Tak kusangka kalau Ayah yang lugu juga punya simpanan
pengetahuan semacam itu. Rupanya kegiatannya malam-malam menembangkan kakawin[3]
bukanlah sekadar untuk menghibur diri sambil menunggu datangnya kantuk.
"Tak
sedikit yang bisa kita pahami dari hidup ini bila kita punya kemampuan membaca
lontar," kata Ayah lagi.
Aku diam, merasa
tersindir, meskipun barangkali Ayah tidak bermaksud menyindir. Ayah tahu kalau
aku tak mampu membaca lontar. Jangankan membaca lontar yang berbahasa Jawa kuno
itu, membaca aksara Bali dengan bahasa Bali saja masih terbata-bata. Seperti
umumnya teman-teman sebayaku, aku lebih menguasai bahasa Inggris. Apa boleh
buat, aku hanya dapat pelajaran bahasa Bali serba sedikit di SD dan SMP. Dan
karena kebutuhan menggunakannya tidak ada setelah itu, dengan sendirinya ia
berangsur-angsur lenyap dari ingatan.
Aku bersyukur
telah melewati siang itu dengan percakapan yang sangat berharga dengan Ayah.
Aku jadi begitu kagum padanya, justru karena ia orang yang sederhana. Seorang
petani yang sering kubantu membajak di sawah, memasang bubu-bubu belut
sore-sore dan besoknya pagi-pagi sekali sudah diangkat. Belut yang berhasil
kami kumpulkan biasanya dibuat pepes oleh Ibu, atau sekali-sekali digoreng
kering, biar tidak bosan. Sayang Ibu begitu cepat pergi ke tanah tua. Ia direnggut
kanker payudara. Maka akulah yang menggantikan tugasnya kemudian, termasuk
membawakan Ayah nasi ke sawah. Barangkali karena aku rajin, Ayah menyayangiku
lebih dari Latra, kakakku yang punya kegemaran tidur-tiduran di bale banjar sambil ngobrol dengan teman-temannya.
Dan tentu karena
hati kami sudah terlanjur lekat, maka Ayah tampak sangat sedih ketika aku mohon
pamit padanya buat memenuhi panggilan kerja di tanah seberang. Tetapi ia
menyadari, apa yang kulakukan adalah demi masa depan yang lebih baik. Tanah
sawah warisan Kakek memang masih bisa menjamin kehidupan yang layak buat
sementara, namun generasi demi generasi akan terus lahir, sedangkan sawah itu
tak akan bertambah dengan sendirinya.
"Suatu saat
kelak, saya akan pulang kembali, Bape[4],"
kataku berjanji.
"Berangkatlah,
jangan lupa kirim surat bila kau sudah tiba."
"Saya akan
berkabar secepatnya, Bape. Saya mohon doa restu."
Dengan
menggenggam erat pesan-pesan Ayah di dalam kalbu, aku berangkat memasuki
lembaran hidupku yang baru, sebagai karyawan sebuah perusahaan pelayaran di Ibu
Kota.
Menyusul
perpisahan itu, surat demi surat pun kami layangkan. Di dalam surat-suratnya
Ayah tak lupa menyelipkan petuah-petuah yang dipetiknya dari naskah lontar.
Aku semakin
kagum saja padanya, dan ini membuatku selalu rindu untuk pulang. Ingin aku
bercakap-cakap lagi dengannya seperti siang itu di bale gede. Ingin pula aku
berjalan-jalan di pematang sambil menikmati aroma lumpur sawah yang telah
bercampur dengan keringat kami. Tetapi tak kumiliki waktu untuk pulang sesering
aku merasa rindu.
Maka setiap tiba
saatnya aku mendapat cuti, kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk menuntaskan
timbunan rasa rindu di hati. Kunikmati percakapan-percakapan ringan tapi berisi
dengan Ayah. Kuturun pula ke sawah menyiangi padi atau memasang bubu-bubu belut
seperti dulu. Betapa bergairahnya hidup bila senantiasa dapat dijalani dengan
kegiatan yang dirindukan. Tetapi aku mengerti, keabadian tentu tak dapat
diharapkan dalam hidup ini.
Pernah Ayah
menulis di dalam suratnya begini: "Ada saatnya kita merasa senang, dan ada
pula saatnya kita merasa sedih. Tetapi semua itu maya. Yang sejati hanya ada di
alam baka. Maka tak perlu terlalu gembira menyambut peristiwa yang menyenangkan
dan jangan terlalu sedih bila ditimpa kemalangan."
Telah tiga tahun
lamanya aku bekerja di Ibu Kota tatkala kemalangan itu hadir di hadapanku
bersama sepucuk telegram yang dikirim dari rumah. Aku terhenyak membacanya.
Ayah meninggal.
Lama aku bengong
sendirian di kamar sebelum aku berkemas-kemas pulang. Aku tak habis pikir.
Ketika kutinggalkan Ayah pada kesempatan pulang terakhir, ia sehat-sehat saja.
Surat-surat yang kuterima pun taka ada mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit.
Kini tiba-tiba ia meninggal. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada Ayah?
Sepanjang
perjalanan pulang aku jadi melamun saja. Terbayang kembali seluruh kegiatan
yang pernah kujalani bersamanya. Kegiatan-kegiatan yang selalu menggelitik rasa
rindu, tetapi tak akan pernah bisa kualami lagi bersamanya.
Aku hampir tak
dapat menguasai diri begitu Kelian Banjar, sahabat baik almarhum, bilang padaku
bahwa Ayah meninggal beberapa saat setelah pulang dari kondangan. Mula-mula ia
muntah darah, lantas segera dilarikan ke rumah sakit. Dan dokter yang gagal
menyelamatkan jiwanya menyatakan Ayah keracunan. Kena cetik[5], kata orang-orang di desa kami.
"Sudahlah,
Made," kata Kelian[6] .
"Semuanya telah digariskan Hyang Widhi Wasa. Kuharap kau bisa menerima
kenyataan ini dengan sikap dewasa."
Kata-katanya
melemparkanku ke masa yang telah lewat, saat aku bercakap-cakap dengan Ayah.
"Jangan pernah dendam kepada siapa pun, meskipun kau pernah menerima
perlakuan yang menyakitkan hati." Begitu kata Ayah pada waktu itu.
"Dendam tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Berlaku kasihlah
kepada setiap insan."
Sementara gelegak
emosiku reda, Bli[7]
Latra tak henti-hentinya mengumbar kesedihan hatinya lewat air mata yang
membanjiri wajahnya. Ia terus menangis sampai jasad Ayah telah dibaringkan di
dalam liang lahat. Kalau ada yang merasa kehilangan sebagian dari dirinya, Bli
Latralah orangnya. Bagaimana tidak. Selama Ayah masih hidup, ia tak pernah mau
bersungguh-sungguh belajar mandiri. Meskipun ia telah menikah dan punya anak,
masih saja ia menggantungkan diri pada Ayah.
Bila tiba
saatnya aku berangkat kembali ke Ibu Kota, aku berpesan kepadanya agar ia
berusaha membenahi sikap hidupnya.
"Jadilah
petani yang baik," kataku. "Sawah itu lebih dari cukup untuk menjamin
hidup Bli sekeluarga. Sudah bertahun-tahun lamanya sawah warisan Kakek menjadi
penyangga hidup kita. Kita mesti bisa menghargainya sebagai milik yang amat
berjasa. Dan suatu saat nanti, saya pasti pulang untuk turut memelihara."
Berselang lima
tahun kemudian, aku memenuhi janji. Aku pulang untuk tidak kembali lagi ke Ibu
Kota. Aku ingin jadi petani seperti Ayah, bahkan lebih dari itu. Aku ingin
punya kebun yang bisa kutanami vanili, cengkeh, salak dan apa saja yang bisa menjanjikan hidup yang lebih baik
di masa datang. Telah kusiapkan uang untuk itu dari tabungan yang kumiliki.
Aku
terlongong-longong begitu kembali berdiri di ujung desa. Sudah begitu banyak
yang berubah, batinku. Jalan yang dulu berdebu tebal di musim kemarau dan
berlumpur di musim hujan, kini sudah beraspal. Pohon-pohon berdaun lebat sudah
tidak ada lagi tumbuh di sepanjang tepi jalan. Hanya ada beberapa pohon kelapa
yang yang masih menjulang menyelingi deretan tiang listrik. Senang hatiku
mendapati kenyataan seperti ini.
Tetapi tak semua
perubahan yang kudapati menyenangkan. Bahkan ada yang membuatku begitu heran
dan prihatin. Saat aku terduduk lesu di undakan bale gede, kulihat lumbung padi
yang dulu pernah kupercakapkan dengan Ayah berdiri dalam posisi miring ke
utara. Atapnya yang telah usang penuh dengan lubang-lubang tikus. Bale gede pun
tak lagi terasa nyaman. Atapnya telah diganti dengan seng, yang kini telah karatan pula.
"Maafkan,
Bli," kata Bli Latra ketika kutanyakan kenapa semua itu sampai terjadi.
"Nasib Bli betul-betul sial."
"Kenapa?"
kataku kesal.
"Setahun
lebih lamanya sawah kita tak memberikan hasil. Hama wereng merajalela,"
kata Bli Latra dengan wajah memelas. "Sementara persediaan pangan kian
menipis, Bli bermaksud menekuni usaha baru. Kebetulan saat itu ada orang dari
kota mau membeli tanah untuk dibangun penginapan, maka sawah itu Bli jual.
Uangnya Bli gunakan untuk membeli truk."
Kuusap wajahku
dengan kedua telapak tangan.
"Truk? Di
mana truk itu sekarang?"
Bli Latra diam
dengan wajah tertekuk. Istrinya yang sejak tadi membisu berkata, "Truk itu
sudah dijual."
"Oh!"
keluhku berat. "Bagaimana bisa begitu?"
Bli Latra masih
bungkam.
"Bli Latra
tak pernah mau mendengar kata-kataku. Ia keranjingan judi buntut dan
tajen," papar istrinya.
"Apa? Semua
jenis judi kan sudah dilarang pemerintah?"
"Tapi
nyatanya terus berlangsung secara sembunyi-sembunyi."
Aku bangkit.
Kutinggalkan mereka di situ tanpa berkata apa-apa. Kususuri jalan beraspal
memuju pantai. Betapa pedih hatiku mendapati sawah warisan Kakek kini digarap
orang. Ada sejumlah bungalo berdiri di situ, juga restoran. Dan di atas pasir
pantai, orang-orang bule bertebaran menikmati sinar matahari sore dengan
pakaian mereka yang minim, persis seperti di Pantai Kuta.***
Amlapura,
April 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar