Janda setengah baya itu biasa dipanggil
Mbok Sumi oleh teman-temannya, para pedagang sayur dan bumbu dapur yang saban
sore menggelar dagangan di pinggir jalan dekat stasiun kereta Kebayoran Lama.
Sebenarnya bukan di pinggir jalan, tetapi menggunakan separuh badan jalan,
sehingga kendaraan umum dibuat tersendat-sendat jalannya. Itulah sebabnya
kenapa kemacetan sepanjang sore di sekitar tempat itu jadi pemandangan khas.
Sore itu Mbok Sumi mendapati seorang
pemuda tampan berdiri termangu di depan tempatnya berjualan.
“Mau beli apa?” tegur Mbok Sumi.
“Beli cabenya dong,” jawab pemuda tampan
sambil merogoh saku celananya.
Mbok Sumi spontan meraih potongan koran
bekas yang selalu tersedia di dekatnya, siap meraup cabe.
“Berapa?”
“Lima ratus.”
Mbok Sumi mendadak sewot dan
mendongakkan kepala.
“Seksi begitu
kok beli cabe cuman go pek[1]?”
protesnya.
Pemuda tampan
mengulum senyum mendengar protes Mbok Sumi.
“Mestinya
berapa?”
“Paling sedikit
seribu.”
“Ya sudah,
seribu aja.”
Mbok Sumi lantas
memindahkan dua genggam cabe ke atas potongan koran bekas yang terbentang di
tangan kirinya.
“Cukup, cukup!”
kata pemuda tampan seraya menjulurkan tangan kanannya untuk menyisihkan
sebagian cabe dari potongan koran bekas sehingga bersisa sedikit.
“Lho, buat apa
cabe segini?” Mbok Sumi menatap heran.
“Ada… aja,”
jawab pemuda tampan dengan bibir tetap tersenyum sambil mengulurkan selembar
ribuan lalu menerima cabe yang telah dibungkus. Ia masih sempat mengucapkan
terima kasih sebelum beranjak pergi.
Mbok Sumi
terpesona bagai kena guna-guna. Dipandanginya punggung pemuda tampan
berlama-lama sampai kemudian lenyap ditelan keramaian.
“Weh, Mbok Sumi kayak gadis aja. Segitu
terpananya, kayak nggak pernah lihat cowok cakep aja,” goda salah seorang
pedagang di sebelahnya.
Mbok Sumi tersentak
dan tersipu.
“Eh, sampeyan
mengolok-olok aku ya? “ ia menyahut
ketus, “aku cuma heran kok ada orang kayak gitu. Diomeli kok nggak dongkol,
malah senyum-senyum, pakai bilang terima kasih segala.”
“Itu artinya dia
orang sabar, nggak kayak Mbok Sumi, hampir tiap hari ngomel aja cuma karena
masalah kecil.”
Mbok Sumi
terdiam. Ia tidak bisa membantah kata-kata tetangganya. Habis, kenyataannya
memang begitu. Tak ada hari yang berlalu tanpa omelannya. Kebiasaan buruk itu
sudah cukup lama melekat pada dirinya. Lebih dari sepuluh tahun, sejak ia
kehilangan suami dan putera sulungnya secara mendadak karena kecelakaan lalu
lintas. Ia hampir tidak dapat menerima kenyataan pahit itu. Berhari-hari
setelah kejadian itu ia tampak murung dan tidak menyentuh makanan. Ningsih,
puterinya sampai terpaksa menyuapinya agar ia tidak jatuh sakit.
“Ibu,” kata
Ningsih memelas. “Kalau terus-terusan begini, berarti Ibu menganggap Ningsih
tak ada artinya.”
Kalimat mengiba
Ningsih yang sederhana itu ternyata punya daya gugah yang luar biasa. Mbok Sumi
tiba-tiba sadar kalau ia telah melarikan diri dari kenyataan. Sejak itu ia
kembali dapat menjalankan kewajibannya sehari-hari, walaupun kemudian menjadi
orang yang gampang tersinggung.
Kehadiran pemuda
tampan yang murah senyum itu kembali memberikan sensasi luar biasa pada
dirinya, yang sanggup membuatnya merenung. Pemuda tampan seakan-akan menyodorkan sebuah cermin agar ia
berkaca dan melihat betapa manisnya wajah yang selalu tersenyum dan betapa
senang hati orang yang melihatnya.
Jangan-jangan
aku telah kehilangan banyak gara-gara tak bisa tersenyum lagi, batin Mbok Sumi
ketika mulai berbaring di tempat tidur. Kini ia tahu kenapa Ningsih jarang mau bicara dengannya. Ia hanya bicara
kalau perlu saja, tak pernah untuk kepentingan santai. Ia lebih memilih
menekuni buku-buku kuliahnya. Pasti ia sudah begitu bosan mendengar omelan. Ah,
andainya aku bisa berbagi senyum seperti pemuda tampan itu, tentu orang-orang
akan terkesan sebagaimana aku terkesan melihatnya.
Mbok Sumi
mendadak berubah begitu kembali menggelar dagangan di tempat seperti biasa pada
hari berikutnya. Ia menyapa pedagang di kiri dan kanannya dengan senyum ramah,
membuat mereka pada bertanya-tanya dalam hati.
“Ternyata janda
tua bisa juga kesengsem sama pemuda tampan,” goda salah seorang dari mereka
sambil mesem-mesem.
“Diam sampeyan!”
bentak Mbok Sumi pura-pura marah. “Nggak bisa lihat orang senang.”
“Mimpi apa
semalam, kok tiba-tiba jadi ceria begitu?” timpal yang lain.
“Sialan, aku
jadi serba salah. Sampeyan itu maunya apa sih? Ngomel salah senyum salah?”
Ningsih juga tak
kalah curiga melihat perubahan yang terjadi pada diri ibunya. Ia cemas jangan-jangan ibunya sedang mengalami
gangguan mental. Ia jadi ragu dan mengurungkan niatnya bicara dengan ibunya
malam itu.
“Kamu kenapa,
Ning? Kok kelihatan gelisah sekali?” tanya ibunya lembut dan tak lupa
tersenyum.
Nyali Ningsih
menciut. Gawat nih, pikirnya. Tak biasanya sang ibu tersenyum kalau bicara
dengannya. Tidak ngomel saja sudah bagus.
“Nggak usah
kuatir lihat ibu berubah. Ibu lakukan ini dengan sadar kok? Ibu menyesal telah
memperlakukanmu begitu kasar selama ini. Maafkan ibu ya?”
Ningsih menatap
heran. “Kok bisa?” tanya Ningsih skeptis. “Kok Ibu bisa berubah mendadak
begini?”
“Ceritanya nanti
saja. Sekarang katakan, kamu perlu uang berapa?”
“Ibu tahu dari
mana kalau Ningsih perlu uang?”
“Gelagatmu sudah kuhafal betul.”
Ningsih menyeringai.
“Ini yang terakhir, Bu,” katanya kalem.
“Maksudmu, setelah ini kamu tak akan
minta uang lagi?”
“Maksud Ningsih, ini pembayaran terakhir.”
“Jadi kuliahmu sudah selesai, begitu?”
Ningsih mengangguk. “Ini untuk bayar
wisuda.”
Mbok Sumi terpana.
“Jadi kamu sudah lulus?”
Ningsih kembali mengangguk. Mbok Sumi
tak dapat menahan luapan kegembiraan yang menggelembung di rongga dadanya. Ia
spontan merentangkan tangan untuk memeluk Ningsih dan menumpahkan tangis
bahagia.
“Hadiah apa yang pantas kuberikan
kepadamu, Nak? Ibu ingin sekali memberimu hadiah,” kata Mbok Sumi sambil
terisak-isak.
“Perubahan yang Ibu tunjukkan hari ini
adalah hadiah yang paling besar buat Ningsih.”
Mbok Sumi makin tersedu dilibas perasaan
haru dan memperketat pelukan.
“Nanti Ibu harus ikut ke Senayan,” kata
Ningsih begitu Mbok Sumi melepaskan pelukan.
“Ke Senayan? Ngapain ke sana?”
“Ningsih akan diwisuda di sana, di Balai
Sidang.”
“Di tempat presiden berpidato?”
Ningsih mengangguk untuk kesekian
kalinya.
“Ogah, masak tukang sayur kamu bawa-bawa
ke tempat seperti itu.”
“Kenapa memangnya?”
“Malu ah!”
“Kenapa malu? Seharusnya Ibu bangga,
karena Ibu akan duduk di bangku VIP, sebagai orang tua dari salah seorang
mahasiswa yang lulus terbaik di fakultasnya.”
Mbok Sumi terhenyak.
“Kamu lulus terbaik, Nak?”
Ningsih kembali mengangguk.
“Ya, Tuhan, apa saja yang kulakukan
selama ini, sampai begitu banyak yang tak kutahu tentang anakku?”
Karena dibujuk terus, akhirnya Mbok Sumi
mau menemani Ningsih pergi ke Balai Sidang untuk diwisuda. Ia mengenakan kain
batik dan kebaya serta rambut disanggul seperti hendak memperingati Hari
Kartini.
Usai acara wisuda yang melelahkan,
banyak teman-teman Ningsih yang datang pada Mbok Sumi untuk menyampaikan ucapan
selamat. Akhirnya Ningsih menarik lengan seorang pemuda tampan dan membawanya
ke depan ibunya.
“Bu, ini Eddy teman Ningsih,”
katanya. “Ia juga lulus terbaik di
fakultasnya.”
Mata Mbok Sumi terbelalak.
“Lho, ini teman Ningsih? Bukankah
sampeyan yang beli cabe tempo hari?”
Eddy yang siap menjabat tangan Mbok Sumi
jadi bingung. Ningsih cepat bertindak mengoreksi ibunya.
“Ibu ini gimana sih? Mana mungkin ia
beli cabe. Ia nggak pernah ke pasar.”
“Ibu tak mungkin salah,” Mbok Sumi
bersikukuh pada keyakinannya. “Coba tanya apa ia pernah diomeli gara-gara mau
beli cabe lima ratus perak.”
“Aduh, Ibu ini bikin malu saja.Tahu
nggak, Eddy ini anaknya walikota!”***
Jakarta, Juni
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar