Kumpulan Cerpen

 

MISTERI BALI


Sebagai penulis kumpulan cerpen ini, izinkan saya berbagi sedikit mengenai latar belakang penulisan cerpen-cerpen saya. Dapat saya katakan, pada umumnya mereka merupakan transformasi dari keprihatinan saya akan sesuatu yang saya kemas sedemikian rupa sesuai kapasitas seni bertutur yang saya miliki.

Dengan kata lain, cerpen-cerpen saya adalah respons saya terhadap keadaan yang menyentuh, suatu keadaan yang menurut hemat saya patut untuk disikapi.

Ketika bertugas sebagai social worker di sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Bali, saya sangat terkesan dengan informasi tentang orang-orang yang memiliki kemampuan “membuat” hujan. Tetapi, ketika kemudian saya tahu bahwa kemampuan mereka tidak jarang digunakan untuk mengganggu kepentingan orang lain, saya berbalik tidak simpati. Ketidaksimpatian ini lantas mendesak saya untuk menulis cerpen “Disambar Petir”.

Bali memang kaya dengan kisah-kisah berbau mistik yang mungkin hanya samar-samar diketahui oleh mereka yang berada di luar pulau yang menjadi tujuan pariwisata dunia ini. Pariwisata sendiri tidak sepi dari rumor seputar ilmu hitam yang disebut leak.

Saat menjalani praktekum di Lembaga Pemasyarakatan Denpasar dalam rangka menyelesaikan studi saya di sekolah pekerjaan sosial, saya kos di rumah seorang pensiunan polisi.
Suatu sore, tatkala saya sedang mencuci piring di dekat sumur di belakang rumah, saya dikejutkan oleh kemunculan seorang perempuan tua yang tak saya kenal. Yang membuat saya risih, ia langsung memberondong saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernada menyelidik.

Belakangan, dari anak gadis tuan rumah, kemudian saya tahu bahwa perempuan tua itu adalah seorang pelarian. Maksudnya, ia berada di rumah itu dalam rangka bersembunyi, menghindarkan diri dari kejaran para wartawan yang ingin mengorek informasi seputar ilmu hitam yang dikuasainya.
Konon, dialah tokoh leak paling sakti dari Sanur. Ketinggian ilmunya, menurut kabar burung, belum ada yang menandingi. Hanya dia satu-satunya yang mampu bersiluman menjadi sebuah pesawat terbang.

Informasi yang dibisikkan di telinga saya itu membuat saya cukup tercekam, tetapi ide untuk menulis cerpen yang terinspirasi oleh pengalaman ini tertunda karena satu dan lain hal dan bahkan sempat terlupakan. Setelah pindah ke Jakarta, baru kemudian saya menulis cerpen berjudul “Misteri”.

Gemuruh roda industri pariwisata yang memasuki Bali juga terekam dalam beberapa cerpen saya seperti: “Warisan”, “Kakek dan Lontarnya” dan “Surat Dari Amsterdam”. Dalam cerpen-cerpen tersebut dapat disimak bagaimana proses akulturasi telah melanda Bali sebagai dampak dari berkembangnya industri pariwisata di pulau ini.

Begitulah, sebagian besar cerpen dalam antologi ini bercerita tentang Bali, tentang sesuatu yang tentu saya kenal dengan baik, menyangkut orang-orang desa yang sederhana dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang begitu akrab dengan sesuatu yang bernama misteri.

Lewat cerpen “Penari Topeng” saya bertutur tentang seorang seniman tari yang begitu mencintai keseniannya. Tentang keteguhan hati seorang anak untuk meraih impian hidupnya, saya tuangkan dalam cerpen “Ngiwa”. Adapun cerita menyangkut tradisi nyentana dan sisi lain dari ilmu hitam dapat disimak lewat cerpen “Pertiwi” dan “Leak”.

Cerpenis almarhum Satyagraha Hoerip pernah berpesan agar saya tetap bertahan menulis tentang Bali. Tentu saja beliau tidak bermaksud membatasi eksplorasi kreativitas saya, sehingga saya pun tidak terpaku untuk hanya menulis tentang Bali.

Ada tiga cerpen dalam buku ini yang tidak bercerita tentang Bali, yakni: “Olivetti”, “Mbok Sumi dan Pemuda Tampan” dan “Wanita Dengan Senyum Mona Lisa”.
Semoga kumpulan cerpen ini dapat turut memperkaya perbendaharaan dunia cerpen kita.
*
 Tanpa kritik/sorotan dan dorongan dari banyak pihak yang peduli pada kreativitas saya, tentu kumpulan cerpen ini tidak mungkin terwujud. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada: Made Taro, Wayan Mona Yasa, Gde Aryantha Soetama (atas kritik/sorotannya pada cerpen-cerpen saya di Bali Post); Putu Arya Tirtawirya (yang membuat saya berani membuat buku kumpulan cerpen yang pertama) dan Umbu Landu Paranggi (yang rajin “membangunkan” saya saat kelamaan “tidur”).

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Nyoman Tusthi Eddy, IDK Raka Kusuma, Ketut Lanus Sumatra, Satyagraha Hoerip dan Sutrisna Hari atas dorongan dan apresiasinya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar